™Adat Perkawinan Batak™

Perkawinan merupakan fase penting dan sakral dalam tradisi adat Batak. Baik Batak Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak hingga Batak Toba.

Orang Batak memandang adat sebagai kesatu-paduan kebudayaan, kerohanian dan kemasyarakatan, yang mencakup kehidupan, keagamaan, kesusilaan, hukum, kemasyarakatan / kekerabatan, bahasa, seni, teknologi dan sebagainya. Orang Batak meyakini, tata cara hidup diatur sejak semula oleh leluhur / nenek moyang, diilhami oleh Debata Mulajadi Nabolon, agar diteruskan oleh keturunannya. Bagi orang Batak, hidup dan perbuatan yang bersumber dari adat, berdasarkan adat serta dijiwai adat, akan dapat memelihara keserasian, keselarasan serta keseimbangan hidup bermasyarakat dan membawa kesejahteraan bersama: banyak keturunan, kekayaan dan kemuliaan. (M.A. Marbun – I.M.T. Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba, Jakarta: Balai Pustaka, 1987, p. 13).

Menurut mitos, orang Batak pertama tinggal di bukit Pusuk Buhit, yang turun dari Banua Ginjang (dunia di atas). Nenek moyang Batak adalah putri dewa Batara Guru bernama Si Boru Deak Parujar yang kawin dengan putra dewa Bulanbulan bernama Tuan Rumauhir atau Tuan Rumagorga. Keturunan kedua putra putri dewa itu adalah Raja Ihot Manisia dan Boru Ihot Manisia – keduanya kembar, namun kemudian kawin incest dan melahirkan Raja Miok-miok Patundal Na Begu, Si Aji Lapas-lapas. Keturunan Raja Miok-miok bernama Eng Banua yang mempunyai tiga anak: Raja Bonang-bonang, Si Aceh, Si Jau. Keturunan Raja Bonang-bonang adalah Guru Tanian Debata yang berputrakan Si Raja Batak. Putra Si Raja Batak ada dua orang, yaitu Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon, yang menjadi kakek moyang suku Batak. (dikutip dari: Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik status & Kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002, pp. 1-2)

Bagi orang Batak zaman dahulu, cinta sebelum perkawinan tidak perlu. Cinta dianggap tumbuh dengan sendirinya setelah anak lahir, terlebih setelah kelahiran anak laki-laki. Istri yang telah melahirkan anak laki-laki, dianggap telah menunaikan tugas sejarahnya. Dia disebut boru naung gabe (perempuan yang diberkati berketurunan), dia menerima penghargaan dari suaminya, hidupnya sudah terjamin meski suaminya meninggal lebih dulu. Bahkan meski perkawinan awalnya tidak diinginkan dan terjadi di bawah tekanan, bisa menjadi perkawinan marrongkap gabe (berjodoh dan diberkati berketurunan) setelah kelahiran anak laki-laki. Namun kelahiran anak perempuan membuat hidup sebuah keluarga menjadi lebih sempurna. (J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka Azet, 1986, p. 212-213)

Pasangan yang secara diam-diam menjadi suami-istri, marpadanpadan (berkencan gelap) atau marmainan (melacur) dan marlangka pilit (mengambil jalan sesat) harus melaksanakan perkawinan segera setelah hal tersebut terungkap. Mereka diperintahkan manopoti (mengakui kesalahan) di depan para tetua dan orangtua kedua belah pihak. Jika laki-laki itu meninggalkan perempuan yang telah digaulinya, atau jika orangtua tidak menghendaki, maka laki-laki itu harus membayar ongkos pangurasion (penyucian) dan melembutkan hati parboru (pihak pemberi putri) dengan memberikan piso (denda). Perbuatan marbagas roharoha (hidup bersama sebagai suami istri secara tidak sah) tidak dikenal di kalangan masyarakat Batak, dan sala tu adat (pelanggaran terhadap adat), sehingga layak dihukum oleh penguasa / raja adat karena melanggar ketertiban umum. (J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka Azet, 1986, p. 185)

Sinamot adalah istilah adat perkawinan. Harta benda suatu keluarga yang telah dikumpulkan, dihemat dan disediakan untuk memenuhi adat perkawinan putranya (hampir sama pengertiannya dengan mahar atau mas kawin). Namun pengertian sebenarnya adalah segala harta benda, berupa emas, uang, ternak dan lain-lain yang diperoleh sebuah keluarga. Pihak pengantin laki-laki adalah pemberi, pihak pengantin perempuan adalah penerima. (M.A. Marbun – I.M.T. Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba, Jakarta: Balai Pustaka, 1987, p. 158)

Ketika seorang istri menjadi janda karena kematian suaminya, ia mengenakan tujung (pakaian berkabung – berupa ulos Sibolang). Setelah Parboru datang pasae tujung (mengakhiri perkabungan), perempuan itu boleh kawin lagi dengan uaris almarhum suaminya berdasarkan adat ‘ganti tikar’. Tetapi, bila perempuan itu menikahi laki-laki pihak lain, parboru menerima sejumlah uang (besarnya tergantung keadaan) dari menantu barunya, sebagai tanda pengakuan atas kedudukan sebagai parboru. (J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka Azet, 1986, p. 216)

Seorang istri yang lari dengan laki-laki lain, atau suaminya mencurigai kesetiaannya, sehingga menyebabkan percekcokan dan perselisihan rumah tangga, akan pinahundul tu amana (dikembalikan pada perwalian ayahnya). Statusnya menjadi boru pargulutan (perempuan yang diperselisihkan) sampai masalah tuntas. Sebaliknya, parboru akan marlulu (menuntut penyelesaian) jika putrinya diperlakukan kejam. Namun, suami-istri tersebut rap manjalo uhuman (sama-sama menerima hukuman). (J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka Azet, 1986, p. 216)

Demikian catatan kecil mengenai Hukum dalam Adat Batak Mengenai Perkawinan, mungkin ada yang kurang silahkan ditambahi dan bila ada yang salah akan kita bahas selanjutnya. Semoga bisa bermanfaat. Horas. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar